Selasa, 12 Juli 2011

Pancasila Sebagai Penyokong Integrasi Normatif Bangsa (Tugas Akhir Mata Kuliah Sistem Politik Indonesia)

Oleh: Rina Cahyani *)


"Sesuai konsensus dan kesepakatannya bahwa Pancasila sebagai lambang negara adalah pemersatu bangsa. Pancasila adalah pengikat riil sebagai bentuk rasa keadilan," kata Boediono dalam debat cawapres di salah satu stasiun televisi di Jakarta pada Juni 2009.

Ya, itulah sepotong kalimat yang dilontarkan oleh Boediono dalam debat cawapres hampir dua tahun yang lalu. Kalimat tersebut menarik untuk ditelisik, sebab ini menyangkut Pancasila. Ya, Pancasila. Pancasila menjadi bahasan yang menarik bagi masyarakat Indonesia khususnya, mengingat ia merupakan ideologi bangsa Indonesia. Pancasila yang berasal dari bahasa Sansakerta mempunyai makna sebagai lima prinsip atau lima asas (Panca = lima; sila = prinsip atau asas). Kelima prinsip atau asas yang terdiri dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan falsafah atau pandangan hidup bangsa Indonesia yang keberadaannya tidak akan pernah terganti (bersifat statis).

Pancasila jika ditinjau secara mendalam tidak hanya berfungsi sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan pedoman hidup bersama, tetapi juga dapat dimaknai secara simbolik melalui kata-kata “Bhineka Tunggal Ika” yang didalamnya mengandung makna tentang persatuan (integrasi). Integrasi dalam tinjauan sosiologis, terbagi menjadi dua jenis, yakni integrasi sosial dan integrasi nasional. Menurut Paulus Wirutomo, integrasi sosial merujuk pada suatu proses dimana unsur-unsur dalam suatu masyarakat seperti kelompok sosial, institusi sosial, dan sebagainya, saling berhubungan secara intensif dan harmonis. Sedangkan integrasi nasional merujuk pada proses menyatunya unsur-unsur tadi secara legal-formal ke dalam suatu nation-state (secara satuan politik). Integrasi sosial sendiri terdiri dari tiga dimensi, yakni integrasi normatif yang didalamnya terdapat nilai-nilai atau norma-norma bersama yang dijunjung tinggi sehingga tercapailah integrasi; integrasi fungsional yang didasarkan pada persfektif fungsional, tetapi penekanannya pada ketergantungan fungsional pada masyarakat yang memiliki diferensiasi sosial atau tingkat spesialisasi yang tinggi; dan integrasi koersif muncul bukan sebagai hasil dari kesepakatan normatif maupun ketergantungan fungsional atas unsurnya, melainkan hasil dari kekuatan yang sanggup mengingkat individu-individu atau unsur-unsur masyarakat secara paksa.

Sesuai dengan pernyataan Boediono di awal tadi, Pancasila sebagai lambang negara yang keberadaannya telah sesuai dengan konsensus dan kesepakatan masyarakat Indonesia, merupakan alat pemersatu bangsa. Dalam tatanan riil, “alat” pemersatu bangsa ini dapat “digunakan” melalui pemerataan keadilan oleh pemerintah kepada rakyatnya melalui pemenuhan hak-hak dan realisasi atas aspirasi mereka tanpa ada pengecualian atau praktik diskriminasi sekecil apapun. Dan jika hal ini sudah terwujud, maka adanya rasa keadilan tersebut akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Belum selesai sampai disitu, kesejahteraan ini juga akan membawa dampak pada munculnya rasa nasionalisme pada tanah air, yang akhirnya akan pula berdampak pada terciptanya integrasi secara normatif.


Otonomi daerah sebagai pendukung

Reformasi telah berjalan selama 13 tahun lamanya. Selama itu pula lah, otonomi daerah telah berlangsung. Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi kekuasaan kini sudah saatnya menjadi pendukung atas terciptanya integrasi normatif. Keberadaan otonomi daerah pun seharusnya dapat memperkuat integrasi tersebut melalui penerapan kebijakan-kebijakan lokal yang tentunya harus berbasiskan pada pemerataan keadilan dan berlandaskan Pancasila. Namun fakta di lapangan menunjukkan, dengan terselenggaranya otonomi daerah justru makin mendorong munculnya elite-elite penguasa baru di tataran lokal, dimana melalui power yang “mereka” miliki sering kali kebijakan-kebijakan lokal yang dihasilkan kerap bersifat politis atau hanya demi kepentingan segelintir orang. Hal ini membuat prinsip “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”-pun kian hari kian jauh dari harapan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut seharusnya penyelenggaraan otonomi daerah mendapat perhatian dan pengawasan khusus agar tidak terus menerus “mencederai” hak-hak keadilan rakyat.

*) Penulis adalah mahasiswa FISIP UI angkatan 2010