Minggu, 19 Desember 2010

new inspiration....

Suatu sore tanggal 17 desember 2010...
Seseorang yang sangat menginspirasi!
Ketika itu hari sudah sore, waktu di sebuah benda terbuat dari stainles steel yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan waktu kurang lebih pukul 17.15. Saat itu saya berada di sebuah angkutan umum dalam perjalanan pulang ke rumah.
Tiba-tiba seorang inspirator itu memasuki angkutan umum yang saya tumpangi sembari menebarkan senyuman tulus yang terpancar dan dihiasi dengan kata-kata pembuka penuh semangat.
Ya, tidak lain dia adalah seorang musisi jalanan alias pengamen yang ingin mengais logam-logam receh demi kelangsungan hidup yang entah kapan hal ini akan berakhir.
Sepele memang, ketika saya menyatakan bahwa musisi jalanan itu seorang inspirator yang hebat. Tapi, jangan dulu bergegas.
Setelah kurang lebih enam bulan melakukan pengamatan, memang dia layak dijadikan inspirator. Pagi, siang, sore, hingga malam, ia selalu menebarkan senyuman dan wajah ceria seakan hidup ini hal yang sangat indah dan menyenangkan baginya. Seakan jua masalah dan segala problematika hidup enggan menghampiri hidupnya.
Betapa tidak, disaat orang-orang bersemangat untuk memulai aktivitas, ia pun tak kalah semangat untuk senantiasa mengais receh lewat sahabat setianya, biola dan seorang rekan sesama musisi jalanan yang tidak kalah gelora semangatnya. Itulah sang inspirator. Dia juga seorang violist.
Masih ingin bergegas?
Saya rasa jangan dulu. Karena ketika semangat yang lain memudar akibat aktivitas seharian, ia tetap semangat dan ceria dalam menjalankan profesi mulianya sebagai musisi.
Kalau saja anda melihat langsung betapa wajahnya penuh dengan keceriaan ketika melantunkan tembang istimewanya, saya yakin anda tidak akan pernah merasa rugi untuk memberikan receh anda padanya, terlebih menjadikannya sebagai sang inspirator yang mampu membangkitkan semangat.
Bahkan hingga kini pun wajah cerianya masih menjadi obat yang ampuh ketika semangat ini mulai memudar.
Terima kasih kawan...
Jaga terus senyum tulusmu, wajah ceriamu, dan untaian kata-kata penuh semangatmu...
Semoga selalu menginspirasiku... 

Muslimah: “Saatnya menjadi Agent of Change..!”

Muslimah: “Saatnya menjadi Agent of Change..!”

Oleh: Rina Cahyani | Mahasiswa FISIP UI 2010


Menjadi seorang muslimah merupakan sebuah identitas yang membanggakan bagi seorang wanita di dunia. Betapa tidak, seorang muslimah tidak hanya dikaruniai keistimewaan-keistimewaan yang luar biasa, tetapi juga dianugerahi peran yang sangat spesial dalam Islam. Keistimewaan seorang muslimah tidak terlepas dari sifat kasih sayang dan lemah lembutnya sebagai seorang wanita. Berkat hal itulah ia diamanahkan Sang Khalik untuk menjadi seorang ibu yang berhak untuk untuk mengandung, menyusui bahkan mendidik buah hatinya yang nantinya kelak akan menjadi calon-calon dokter, guru, teknisi bahkan pemimpin suatu negeri. Lebih dari itu, sang muslimah pun juga dianugerahi peran spesial sebagai ‘aktor’ utama dalam menentukan nasib suatu bangsa. Sebab, diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Wanita adalah tiang negara, apabila baik wanita maka baiklah negara dan apabila rusak wanita maka rusaklah negara.” Hal ini tentu saja menjadi sebuah kebanggan tersendiri sekaligus amanah bagi kaum muslimah bahwa ternyata peranan dirinya sangatlah dihargai dan penting, tidak hanya bagi agamanya, yaitu Islam tetapi juga bagi kebaikan bangsa dan negaranya.
Berbicara mengenai muslimah, tentu kita tidak akan terlepas dari peranan muslimah yang begitu istimewa seperti yang telah saya kemukakan di awal. Menjadi sebuah hal yang antiklimaks ketika kita membicarakan peranan muslimah tanpa mengkomparasikan realita yang terjadi sekarang ini dengan keadaan masa lalu. Pada masa Rasulullah masih hidup, kita semua tahu bahwa begitu banyak muslimah yang mempunyai peranan strategis dan kontributif dalam menjalankan tugas dan kewajibannya disamping sebagai seorang ibu, istri maupun anak. Nasibah al Mazzniyah, contohnya. Ia adalah seorang muslimah yang menjadi srikandi dalam perang Uhud. Di saat genting, Umar dan bahkan Abu Bakar minggir ketika mendengar kabar Rasulullah telah meninggal. Mereka tidak punya semangat lagi untuk berjihad, karena mereka pikir, siapa lagi yang mau dibela? Saat itu Rasul pingsan. Saat tersadar, ia tidak melihat kehadiran orang lain kecuali Nasibah. Kemudian Rasulullah mempersilakannya meminta kepadanya, “Ya Nasibah, salmi, salmi (mintalah, mintalah)”. Kemudian Nasibah meminta “Ya Allah jadikanlah aku sebagai temannya di surga”. Rasullah langsung memohon kepada Allah “Ya Allah jadikanlah Nasibah ini menjadi temanku di surga.” Nasibah berperan langsung, bahkan dalam perang fisik. Dalam peperangan ia memegang dua pedang. Tetapi, setelah ia kehilangan sebelah tangannya, ia memberikan salah satu pedangnya kepada anaknya. Dalam peperangan itu, Nasibah kehilangan suami, anak, dan sebagian anggota badannya.
Kisah Nasibah hanyalah salah satu kisah yang menceritakan bagaimana begitu hebat dan luar biasanya peran muslimah pada masa Rasulullah. Masih banyak sebenarnya kisah-kisah mengenai peran muslimah yang begitu luar biasa, seperti Aisyah yang mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi, Siti Khadijah dan Siti Fatimah yang mempunyai kelembutan yang luar biasa terhadap anaknya dalam mengembangkan potensinya, dan masih banyak lagi. Namun jika kita melihat peran muslimah pada masa sekarang ini, nampaknya agak sulit bagi kita untuk menemukan karakter-karakter atau figur seperti Nasibah, Aisyah, Siti Khadijah maupun Siti Fatimah. Ironis memang. Lantas hal tersebut jangan sampai membuat kita (sebagai muslimah) merasa termarjinalkan dari realita kehidupan masa kini. Pantang bagi seorang muslimah merasakan hal seperti itu. Justru ketika saat ini kita melihat realita seperti itu, seorang muslimah haruslah menjadi sosok pertama sebagai orang yang termotivasi sekaligus penggerak untuk bisa mengubah keadaan ini.
Kesulitan kita untuk menemukan figur-figur shahabiyah seperti di atas pada masa sekarang ini bukanlah tanpa sebab. Paradigma klasik yang masih terpatri bahwa seorang wanita hanya cukup menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga, sehingga membuat wanita (muslimah kebanyakan) mengalami keterbatasan skill dalam mengembangkan potensi dan bakatnya, merupakan hal yang menjadi penyebab kian menipisnya stok figur-figur di atas ditengah arus globalisasi dan semangat kompetensi yang kian menjadi ciri khas abad 21. Lantas, apa yang dapat kita lakukan untuk menghadapi hal ini? Jawabannya sederhana, ubah paradigma klasik tersebut dan sadarlah bahwa kita (muslimah) yang sebenarnya menjadi ujung tombak dalam (hampir) segala hal. Ingat, seseorang yang sukses, terlepas dari apakah ia seorang laki-laki muslim ataupun wanita muslimah, hanya akan lahir dari seorang rahim wanita muslimah serta terdidik dari tangan-tangan penuh kelembutan dan kasih sayang seorang wanita muslimah. Bayangkan, jika semua muslimah dapat mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baik pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Sungguh, bangsa ini akan mengalami kemajuan yang pesat! Selain itu mengubah paradigma klasik yang membuat kita seperti ‘katak dalam tempurung’ juga merupakan hal yang utama. Penting bagi muslimah untuk menyadari bahwa perannya tidak hanya sebatas mengurusi hal-hal rumah tangga dan mendidik anak. Ia juga harus mempunyai kesadaran akan kewajibannya terhadap agama, pribadi atau dirinya sendiri, keluarga, masyarakat serta tanah air atau negara. Kelima kewajiban tersebut-lah yang jika dapat dipenuhi semuanya secara tawadzun atau seimbang, insya Allah akan membawa peran muslimah menjadi lebih berarti di era kompetensi dan globalisasi ini.
Kewajiban terhadap agama atau wajibatdiniyah, merupakan kewajiban seorang muslimah dalam membuktikan ketinggian nilai-nilai Islam diatas ideologi lain selain Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan ilmu dan kapasitas intelektualnya, seperti terdapat dalil pada Al Quran surat 58 ayat 11 dan surat 39 ayat 9. Cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan mempunyai akhlak yang mulia seperti halnya Rasulullah yang mendapat julukan Al-Amin (dapat dipercaya) serta dengan cara mempunyai amal, gerak serta perjuangan yang baik yang tetap berada dalam koridor hukum Islam. Kewajiban ini sangat penting dan utama bagi muslimah dalam mengambil peran di era kompetensi dan globalisasi ini. Sebab di era tersebut, tuntutan akan ilmu pengetahuan, intelektualitas, skill, kepribadian serta track record seseorang menjadi hal yang banyak disoroti oleh berbagai pihak.
Kewajiban terhadap pribadi atau wajibatsyaksiyah, merupakan kewajiban seorang muslimah terhadap dirinya sendiri yang mencakup aspek rohani dan jasmani. Aspek rohani berkaitan dengan kepemilikan akidah yang lurus serta selalu membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Sedangkan aspek jasmani berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan akan fisik yang sehat dalam menjalankan peran sebagai seorang muslimah. Hal ini menjadi penting manakala seorang muslimah menyadari bahwa sehat merupakan nikmat kedua setelah nikmat iman. Ingat, peran muslimah tidak akan berarti apa-apa ketika fisiknya lemah dan tidak berdaya walaupun ia memiliki kapabilitas intelektual dan skill yang memadai.
Kewajiban terhadap keluarga atau wajibatbaitiyah, merupakan kewajiban seorang muslimah untuk dapat menciptakan keadaan yang kondusif dalam keluarganya. Hal ini dikarenakan, keluarga merupakan basis awal pergerakan seorang muslimah dalam menjalani peranannya. Seorang muslimah tidak akan mampu menjawab tantangan globalisasi ketika ia tidak mendapat dukungan atau support dari keluarganya sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin ia (muslimah) dapat berperan atau memberikan kontribusi kepada masyarakat jika unit terkecil dalam masyarakatnya saja (baca: keluarga) tidak memberikan dukungan kepada dirinya dalam melakukan peranannya tersebut.
Kewajiban terhadap masyarakat atau wajibatijtima’iyah. Kewajiban ini didasari pada dalil dalam Al Quran surat At-Taubah ayat 71 yang artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar...” (QS.9:71). Kewajiban terhadap masyarakat menjadi penting bagi seorang muslimah, mengingat dalam ayat tersebut terdapat perintah tolong-menolong serta berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran. Selain itu kewajiban ini menjadi jauh lebih penting manakala kita sebagai muslimah dihadapkan pada salah satu kenyataan tantangan globalisasi yang paling menonjol, yaitu adanya individualisme. Hal ini mewajibkan seorang muslimah untuk peka terhadap masyarakat dan jangan sampai seorang muslimah menjadi pribadi yang terjangkiti ‘virus’ individualisme tersebut dan acuh terhadap lingkungan masyarakat. Na’udzubillah mindzalik.
Kewajiban terhadap tanah air/negara atau wajibatwathoniyah, merupakan kewajiban seorang muslimah terhadap kondisi atau keadaan negaranya. Kewajiban ini tidak (mesti) mengharuskan muslimah untuk menjadi seorang negarawan atau menjadi seorang public figure yang bertanggung jawab penuh atau langsung terhadap kondisi negara, misalnya. Tetapi cukup dengan menjaga izzah atau kemuliaan dirinya sebagai seorang muslimah, maka kewajiban tersebut sebenarnya sudah dapat dikatakan terpenuhi. Sebab, seperti hadist Nabi SAW, bahwa wanita merupakan tiang negara. Jadi, ketika kita diamanahakan sebagai seorang muslimah jagalah kemuliaan diri kita sebagai seorang muslimah dengan senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, maka insya Allah negeri ini pun akan menjadi negeri yang baik keadaannya karena dihuni oleh wanita-wanita sholihah yang juga akan melahirkan generasi-generasi sholihah, insya Allah. Amin.
Sebagai kesimpulan, saya ingin mengemukakan bahwa sudah saatnya kita sebagai muslimah bangga akan keistimewaan-keistimewaan yang telah Allah berikan kepada diri kita. Jadikanlah kebanggan tadi menjadi awal dari kesadaran kita akan begitu penting dan utamanya peran muslimah dalam berbagai keadaan dan tantangan zaman. Sebab sudah menjadi sebuah keharusan bagi setiap muslimah ketika era kompetensi dan globalisasi semakin marak, untuk menonjolkan peran-peranannya yang sangat strategis dan kontributif dan semua peran tersebut sesungguhnya dapat diimplementasikan dalam bentuk pemenuhan kewajiban terhadap agama, pribadi, keluarga, masyarakat maupun tanah air/negaranya. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi para wanita muslimah yang membaca. Teruskan kontribusimu ya ukhti, tunjukkan kapabilitasmu dan buktikan bahwa muslimah adalah anugerah terindah dunia yang telah Allah berikan. 